Baru-baru ini, DPR RI telah mengesahkan revisi
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara
(Minerba) dalam sidang paripurna yang berlangsung di Jakarta pada Selasa, 12
Mei 2020. Sidang paripurna DPR mengesahkan revisi UU Minerba itu menjadi UU. Untuk diketahui RUU Minerba sempat ditentang elemen masyarakat
dan mahasiswa pada 2019 silam bersama dengan RKUHP dan RUU Pemasyarakatan. Adapun pasal-pasal yang dianggap bermasalah
adalah:
Sebelumnya 175
83 Pasal diubah, 52 pasal baru, 18 pasal
dihapus = 209 pasal
1. 1. Pasal 13a mengatakan, “Surat izin penambangan batuan yang selanjutnya disingkat SIPB, adalah
izin yang diberikan untuk melaksanakan kegiatan usaha pertambangan batuan jenis
tertentu atau untuk keperluan tertentu.”
Pasal ini tidak diatur
sebelumnya dalam Undang-Undang Minerba yang lama. Sekilas tak ada masalah dalam
pasal ini, namun apabila kita merujuk pada bab XIA yang mengatur tentang SIPB,
tidak jelas disampaikan terkait dengan peruntukannya. Hal ini berpotensi
membuka ruang rente baru.
2. 2. Pasal 4 ayat 2 mengatakan, “Penguasaan mineral dan batubara oleh negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh pemerintah pusat sesuai
dengan ketentuan undang-undang ini.”
Dengan adanya pasal ini
maka gugurlah sudah kewenangan daerah terkait dengan hal-hal menyangkut Minerba
terutama tentang perizinan. Hal ini juga dipertegas dengan dihapusnya
Pasal 37 UU Minerba yang lama. Segela perijinan kini diserahkan kepada
pemerintah pusat. Maka ini tentu saja melanggengkan sentralisasi kekuasaan di
mana hal ini tentu saja bertentangan dengan spirit otonomi daerah.
3. 3. Pasal 45. Dikatakan jika terdapat mineral lain yang
tergali dalam satu masa eksplorasi, maka tak akan terkena royalti. Hal ini
menurut Direktur Riset INDEF Berly Martawardaya berbahaya karena bisa menjadi
celah pelanggaran hukum dan eksploitasi berlebihan. Maka, menurutnya,
Pemerintah harus membuat batasan besaran mineral ikutan yang boleh ikut digali
selama masa eksplorasi.
4. 4. Pasal 96. Pasal ini merupakan pasal yang
mewajibkan pertambangan rakyat perlu membayar iuran. Selain tidak diatur di
Undang-Undang minerba yang lama, Juga ia berbanding terbalik dengan mereka yang
memiliki ijin usaha pertambangan khusus yang justru dapat intensif dan bantuan
dari pemerintah terkait peringanan pajak (Pasal 168).
5. 5. Pasal 162 mengatakan, ”Setiap orang yang merintangi atau menggangu kegiatan usaha pertambangan
dari pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB telah memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud pada Pasal 16 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling
lama satu tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).”
Tidak ada yang berbeda
dengan Pasal 162 UU Minerba yang lama selain penambahan IPR dan SPIB. Pasal ini
berpotensi untuk mengkriminalisasi masyarakat terutama bagi mereka yang
terlibat konflik (pembebasan lahan) dengan pihak pertambangan. Terkait dengan
pembebasan lahan, Komnas HAM mencatat, tahun 2019 terdapat 9 kasus konflik
agraria dengan pihak pertambangan.
6. 6. Dihapusnya Pasal 165. Dalam UU Minerba yang lama
di Pasal 165 mengatakan, ”Setiap orang
yang mengeluarkan IUP, IPR, atau IUPK yang bertentangan dengan undang-undang
ini dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana paling lama 2 (dua)
tahun penjara dan denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).”
Dengan dihapusnya pasal
ini tentu saja akan berpotensi melanggengkan praktek korupsi. Pihak pemberi
izin, dalam hal ini sudah diberikan kepada pemerintah pusat, berpeluang besar
melakukan abuse of power dan melanggengkan praktek-praktek busuk
antara perusahaan dengan pemerintah pusat.
7. 7. Pasal 169 A ayat (1a) dan (1b). Dengan adanya pasal ini
maka perjanjian kerja yang belum memperoleh perpanjangan dijamin mendapatkan 2
kali perpanjangan dalam bentuk IUPK dengan masing-masing jangka waktu 10 tahun.
Maka, jika mengacu pada perundangan ini, perusahaan tambang dapat beroperasi
selema 40 tahun dengan opsi perpanjangan.
8. 8. Pasal 169B ayat (2) dan ayat (3) yang akan mempermudah
perusahaan pemilik Kontrak Karya atau pun Perjanjian Kerja Pengusahaan
Pertambangan Batubara (PKP2B) untuk memperpanjang masa kerjanya. Cukup
memperoleh Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Dengan adanya kemudahan ini, juru kampanye
iklim dan energy Greenpeace Indonesia, Hindun Mulaika, menilai, ketentuan ini
jelas dibutuhkan oleh perusahaan pertambangan. Ia mencatat ada sekitar 7
perusahaan tambang dengan izin PKP2B yang akan habis masa konsesinya mulai dari
2021 sampai 2025.
Ketentuan ini pastinya juga akan semakin
memperkecil ruang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk dapat mengelola mineral
dan barel di mana hal ini tentu saja tidak sejalan dengan amanat Pasal 33 ayat
(2) UUD NRI 1945 yang mengatakan, “Cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara,”
Namun, dari
pasal-pasal yang dianggap bermasalah diatas, anggota Komisi VII DPR cum mantan
Ketua Panja RUU Minerba periode lalu, Ridwan Hisjam menyatakan pasal-pasal yang
tertuang dalam beleid saat ini tak perlu diperdebatkan lagi. Sebab, menurutnya,
DPR telah melalui proses panjang dalam membahasnya. Termasuk pasal-pasal yang
masih dianggap ganjil.
Menurut
Ridwan, memang sah saja bila masyarakat masih mempermasalahkan dan tak puas.
Namun, ia menyatakan dalam proses sebelumnya DPR dan Pemerintah pun telah
mendengar masukan dari masyarakat. Sehingga, tak bisa hanya karena ada yang
bersuara saat ini kemudian memaksa mengganti pasal-pasal tersebut. Ridwan
kemudian menyatakan, pasal-pasal yang disoroti tersebut justru muncul karena DPR
dan Pemerintah ingin memperbaiki masalah. Ia mencontohkan Pasal 4, 7 dan 8 yang
menurutnya untuk membenahi praktik jual beli surat izin di daerah.
Sementara,
praktik tersebut membuat pembengkakan biaya bagi pengusaha dan investor
tambang. “Di bawah itu akhirnya cuma jual beli izin saja. Pemerintah daerah
tidak memperhatikan kewajiban-kewajiban investor, seperti penghijauan bekas
lahan tambang. Itu yang ingin kami perbaiki,” kata Ridwan. Menurut Ridwan,
perubahan tersebut telah atas kesepakatn Kemendagri yang menjadi bagian
perwakilan pemerintah dalam pembahasan RUU Minerba. “Dirjen Otonomi Daerah
sudah sepakat, artinya sudah ditimbang baik buruknya untuk otonomi daerah,”
kata Ridwan.
Menteri
ESDM Arifin Tasrif mewakili Presiden RI menyampaikan pandangan akhir terkait
RUU Minerba sebagai berikut :
· RUU Minerba memuat beberapa poin penting, diantaranya penguatan BUMN.
Menurut dia, wilayah pertambangan bekas Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin
Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dapat ditetapkan sebagai WIUPK yang penawarannya diprioritaskan kepada BUMN.
· Pemerintah
juga menjamin perpanjangan pemegang Kontrak Karya dan Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan batubara (PKP2B) dengan mempertimbangkan penerimaan
negara. Selain itu, RUU Minerba memuat aturan yang tegas terkait nilai tambah
pertambangan melalui pemurnian di dalam negeri.
· Dalam
RUU Minerba, DPR dan pemerintah sepakat mengenai divestasi saham. Pemegang IUP
dan IUPK dalam operasi produksi yang sahamnya dimiliki asing wajib divestasi
saham sebesar 51%. Menurutnya, aturan itu akan mendorong pertumbuhan ekonomi di
Indonesia.
· RUU Minerba memberi perhatian khusus terhadap lingkungan hidup. Rancangan aturan tersebut memuat sanksi tegas berupa sanksi pidana dan denda bagi perusahaan yang tidak melaksanakan reklamasi pasca tambang.
Sumber Bacaan
& Gambar:
Finance.detik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar