Keselamatan Tambang

Pertambangan memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan nasional. Pertambangan memberikan peran yang sangat signifikan dalam perekonomian nasional, baik dalam sektor fiscal, moneter, maupun sektor riil. Salah satu karakteristik industri pertambangan adalah padat modal, padat teknologi dan memiliki risiko yang besar. Oleh karena itu, dalam rangka menjamin kelancaran operasi, menghindari terjadinya kecelakaan kerja, kejadian berbahaya dan penyakit akibat kerja maka diperlukan implementasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) pada kegiatan pertambangan. Suatu kegiatan industri tidak pernah terlepas dari potensi risiko kecelakaan. Begitu pula dengan suatu industri manufaktur yang melibatkan manusia dalam melakukan proses produksi yang dapat melibatkan suatu risiko kecelakaan kerja. Bahaya (hazard) adalah suatu sumber, situasi atau tindakan yang borpotensi menciderai manusia atau kondisi kelainan fisik atau mental yang terindentifiksi berasal dari situasi yang terkait pekerjaan.

 

Faktor fisik yang menyebabkan kecelakaan kerja pada kegiatan pertambangan :

A.      Penerangan

Pekerjaan di kantor merupakan pekerjaan teliti dan menurut PMP No. 7 tahun 1964 tentang Syarat-syarat Kesehatan, Kebersihan serta Penerangan dalam Tempat Kerja untuk pekerjaan teliti seperti aktivitas di kantor memerlukan penerangan rata-rata ruangan sebesar 300-700 lux. Pekerjaan yang dilakukan di area tambang adalah pekerjaan bongkar muat dengan ketelitian sedang berarti memerlukan intensitas penerangan lokal minimal sebesar 100 lux.


B.      Kebisingan

Hasil pengukuran intensitas kebisingan yang dilakukan oleh Balai Teknik Kesehatan Lingkungan untuk lingkungan kerja di hopper adalah 98,5 dB dan pada jarak ± 5 meter dari hopper adalah sebesar 87 dB, menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 51/MEN/1999 tentang NAB Faktor Fisik di Tempat Kerja yaitu 85 dB untuk pekerjaan selama 8 jam per hari atau 40 jam per minggu. Pada prakteknya, tidak ada karyawan yang berada pada jarak 1 meter dari hopper kecuali bila ada kerusakan yang memerlukan perbaikan.


C.      Tekanan Panas

Hasil pengukuran suhu kerja dari Balai Teknik Kesehatan Lingkungan adalah sebesar 25 – 32 °C, sedangkan suhu nikmat kerja adalah pada suhu 24 – 26°C bagi orang Indonesia. Sebagaimana pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep –51/MEN/1999 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika pada lampiran I Nilai Ambang Batas Iklim Kerja Indeks Suhu Basah Bola (ISBB) yang diperkenankan, bahwa untuk waktu bekerja terus menerus 8 jam per hari pada beban kerja berat adalah 25 °C (Suma’mur, 1996).


 

Faktor Kimia yang menyebabkan kecelakaan kerja pada kegiatan pertambangan :

A.      Debu

Hasil pengukuran debu total di beberapa titik PT. MGM yang dilaksanakan pada tanggal 4-6 Nopember oleh Balai Teknik Kesehatan Lingkungan adalah 29,728 μg/m3; 49,134 μg/m3; 16,101 μg/m3; 35,027 μg/m3; 16,688 μg/m3; 109,661 μg/m3. Menurut SNI 19 – 7119.3 – 2005 tentang Baku Mutu Udara Ambien Nasional NAB debu total untuk waktu pemaparan selama 24 jam adalah 230 μg/m3.

Pengukuran debu khusus batubara belum pernah dilakukan baik oleh pihak internal perusahaan maupun pihak eksternal. NAB debu batubara menurut SNI 19-0232-2005 adalah 2 mg/m3.


B.      Fume

Fume yang ada pada lingkungan kerja ini dihasilkan dari gas emisi alat berat yang digunakan pada proses penambangan. Upaya pengendalian faktor bahaya ini bisa dilakukan dengan mengupayakan konstruksi alat berat dengan kabin tertutup untuk meminimalisir adanya penyakit akibat kerja yang diakibatkan oleh fume. Perusahaan juga memberikan APD berupa masker untuk mengantisipasi bahaya fume ini. Namun pengukuran mengenai besarnya fume di lingkungan kerja belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, pihak manajemen belum mengetahui apakah kadar fume di lingkungan kerja berada di atas atau di bawah NAB.



Faktor Biologis yang menyebabkan kecelakaan kerja pada kegiatan pertambangan :

Faktor biologi bisa menjadi bahaya yang mengganggu pekerjaan. Untuk mengantisipasinya bisa dilakukan dengan jalan memakai baju kerja yang menutupi semua bagian tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.



Faktor Fisiologis yang menyebabkan kecelakaan kerja pada kegiatan pertambangan :

Faktor bahaya fisiologis bisa timbul bila terjadi ketidakserasian antara alat dengan kemampuan tubuh. Namun karena sebagian besar alat bantu kerja yang digunakan ini bisa disesuaikan dengan operator menjadikan faktor bahaya fisiologis ini tidak menjadi masalah yang sangat mempengaruhi kinerja karyawan.

 

Faktor mental psikologis yang menyebabkan kecelakaan kerja pada kegiatan pertambangan :

Lokasi tempat kerja yang berada jauh dari pemukiman penduduk bisa menjadi faktor bahaya berupa gangguan mental psikologis bagi karyawannya. Oleh karena itu, perusahaan memberlakukan sistem kerja cuti supaya karyawan bisa berkumpul dengan keluarga dan membaur dengan masyarakat sebagai upaya pengendalian faktor bahaya mental psikologis yang bisa dialami karyawannya.



Referensi:

Simanjuntak, R. A., & Abdullah, R. (n.d.). Tinjauan Sistem dan Kinerja Manajemen Keselamatan & Kesehatan Kerja Tambang Bawah Tanah CV. Tahiti Coal, Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat. 10.

LAPORAN UMUM KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3) PADA PERTAMBANGAN BATUBARA DI PT. MARUNDA GRAHAMINERAL, JOB SITE LAUNG TUHUP KALIMANTAN TENGAH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar