Indonesia Baru, dengan Energi baru yang membaharukan

     Tercatat Sepanjang periode 2009-2019, Diketahui bahwa volume impor minyak dan gas (migas) nasional telah meningkat 36,4% menjadi 49,1 juta ton atau rata-rata 3,6% per tahun. Impor gas mencatat kenaikan yang paling tinggi, yakni lebih dari 471% menjadi 5,5 juta ton dari 970 ribu ton pada 2009. Kebijakan konversi penggunaan minyak tanah ke gas menjadi pemicunya. Adapun impor minyak mentah periode 2009-2018 meningkat 10,64% menjadi 16,9 juta ton. Demikian pula impor hasil minyak/minyak olahan naik 35% menjadi 26,6 juta ton. Dan terlihat pada periode Januari-Juni 2019, impor minyak mentah Pertamina tercatat sebesar 220 MBPD. Demi mengurangi ketergantungan terhadap energy yang tak terbaharukan ini serta memanfaatkan sumber daya energy baru dan terbarukan di Indonesia, maka sudah tiba waktunya bagi Indonesia untuk ikutan adil dan berperan aktif untuk menekuni jenis energy ini dengan lebih serius dan arah yang lebih jelas serta tepat guna.

    

Indonesia, negeri indah nan permai. Negeri yang diapit oleh dua samudera dan dua benua dimana berbagai sumber energy baru dan terbarukan juga ikut mengelilinginya. Sungai yang banyak mengalir di daerah-daerahnya, lingkaran cincin gunung berapi aktif dunia yang saling bersahutan di berbagai pelosoknya, serta matahari yang selalu menyinarinya sepanjang tahun merupakan salah satu dari sekian energy baru dan terbarukan yang telah diberkahi oleh Tuhan yang Maha Esa untuk dilimpahkan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.

Sumber : cnbcindonesia.com

 

Bauran Energi Primer pembangkit listrik

Sumber : cnbcindonesia.com

 

Sebagai salah satu dari tanda kesyukuran kita terhadap karunia ini adalah dengan memanfaatkannya sebaik yang kita mampu. Salah satu cara untuk menggambarkannya adalah dengan membangun Pembangkit listrik tenaga EBT. Diketahui Pemerintah lewat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mencatat, ada 24 unit pembangkit listrik bertenaga energy baru dan terbarukan (EBT) yang akan mulai beroperasi di tahun 2019.

 

Diantara 24 unit tersebut, ada satu Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) berkapasitas 21 megawatt (MW). Selainitu, ada 14 unit PembangkitListrik Tenaga Microhydro (PLTM) dengan kapasitas total 80 MW. Kemudian ada enam Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkapasitas total 45 MW, lalu ada tiga Pembangkit Listrik Tenaga Bio Gas (PLTBG) dan Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBM). Sehingga, total kapasitas seluruh PLT EBT ada 151 MW. Namun ternyata ada fakta mengejutkan yang telah ditemukan, Menurut Institute for Essential Service Reform (IESR) telah ditemukan fakta bahwa tambahan kapasitas Energi Baru danTerbarukan (EBT) di Indonesia hanya 385 MW di tahun 2020. Padahal, di tahun 2025 nanti pemerintah memiliki target kapasitas EBT mencapai 45 GW.

 

Sehingga EBT masih terbilang tidak akan mudah untuk berkembang jika dijalankan berdasarkan kebijakan atau regulasi yang ada sekarang. Target bauran EBT sebanyak 23% dari pemerintah pada 2025 nanti juga belum tentu tercapai. Ada kemungkinan bauran EBT yang tercapai di 2025 nanti maksimum hanya 14%-15%, melenceng dari target awal yang telah dicanangkan oleh Pemerintah sebelumnya. Hal ini disinyalir disebabkan oleh beberapa faktor yang diantaranya adalah regulasi mengenai pemanfaatan EBT yang tercantum dalam Permen ESDM No 50 Tahun 2017 belum berpihak bagi investor atau  pengembang. Hal ini yang akhirnya membuat proyek-proyek EBT tidak berjalan sebagaimana mestinya (kurang maksimal). Contohnya, penetapan tariff pembelian listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) paling tinggi sebesar 85% dari biaya pokok penyediaan (BPP) pembangkit listrik setempat. Tentunya hal ini akan memberikan impact yang cukup siginifikan nantinya.

  

Padahal sejatinya keberadaan investor atau pengembang sangatlah krusial untuk memajukan dan mengembangkan pemanfaatan EBT kedepannya.Tanpa adanya riset yang dijalankan para pengembang dan modal usaha yang cukup dari para investor, bias dikatakan sulit untuk dapat mewujudkan target awal yang dicanangkan pemerintah. Jika kita hanya berpangku pada kemampuan Negara untuk mengembangkannya,  dapat dipastikan masih cukup sulit. Karena Indonesia sudah tertinggal beberapa langkah awal untuk mengembangkan EBT dan memanfaatkannya. Contoh kecil yang dapat kita ambil adalah belum tersedianya program studi di suatu tingkat pendidikan tinggi negeri ini yang berfokus pada pengembangan dan pembelajaran EBT, padahal jika pemerintah ingin dikatakan lebih serius maka langkah ini sudah pasti akan dilaksanakan jauhjauh hari. Dengan meningkatkan pengetahuan masyarakat dan kalangan akademika perihal EBT sudah dapat dipastikan arah pengembangan EBT di Indonesia akan memiliki jalur yang pasti dan memiliki tujuan yang sudah jelas. Jika saja angan-angan ini dapat direalisasikan, ada kemungkinan besar bahwa Indonesia akan menjadi pionerr dalam sector pengembangan EBT ini. Tentunya hal ini dapat dengan berani penulis sampaikan menilik kepada sumber EBT yang melimpah di Indonesia.

 

Namun pertanyaan pun banyak bermunculan dari upaya pengembangan EBT ini, apakah EBT yang diklaim lebih ramah lingkungan dari energy konvensional benar-benar “ramah lingkungan “ ? Apakah EBT ini merupakan sebuah terobosan atau hanya bentuk lain dari monopoli dari iklim geopolitik dunia ? Apakah EBT ini dapat mencapai nilai keekonomisan yang dapat bersanding dengan energy fosil?


Menurut pengertian dari International Energy Agency (IEA), Energi Baru dan Terbarukan adalah energi yang berasal dari proses alam yang diisi ulang secara terus menerus dan secara berkelanjutan dapat terus diproduksi tanpa harus menunggu waktu jutaan tahun layaknya energy berbasis fosil. EBT merupakan energy alternatif yang dapat dimanfaatkan oleh manusia dewasa kini sebagai pengganti dari energy fosil yang sifatnya tidak dapat diperbaharui dan tak terbarukan. Pemahaman EBT menurutUndang-Undang No 30 Tahun 2007 dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu “Energi baru” yang berasal dari sumber energy baruya itu jenis-jenis energi yang pada saat ini belum dipergunakan secara missal oleh manusia dan masih dalam tahap pengembangan teknologi. Sedangkan, “Energi terbarukan” merupakan energi yang berasal dari sumber energy terbarukan yang ketersediaan sumbernya bias digunakan kembali setelah sumber itu digunakan atau dihabiskan.  Selain itu, Pemanfaatan energy baru terbarukan dinilai lebih ramah lingkungan karena mampu mengurangi pencemaran lingkungan dan kerusakan lingkungan jika dibandingkan dengan energy tak terbarukan karena EBT cukup cepat untuk dapat dipulihkan kembali secara alami.  Artinya , EBT yang dihasilkan dari sumber daya energi yang secara alami tidak akan habis jumlahnya dan dapat bersifat berkelanjutan apabila dikelola dengan baik. Oleh karena itu, Energi Baru dan terbarukan dapat disebut juga sebagai energi yang berkelanjutan (sustainable energy).

 

Potensi yang dimiliki oleh Energi Baru dan Terbarukan ini cukup banyak jenisnya dan sangat bermanfaat sekali bagi manusia dalam menunjang kebutuhan hidupnya terutama dalam penyediaan tenaga listrik sebagai sumber pengganti dari Energi Fosil yang tidak dapat diperbaharui dan jumlah nya sangat terbatas. Beberapa sumber Energi Baru dan Terbarukan misalnya Biofuel, biomasa, panas bumi, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), angin, energy matahari, pasang surut dan gelombang laut. Kebanyakan dari sumber EBT berasal dari energi yang memiliki emisi rendah serta limbah yang sedikit bahkan bias diolah kembali pastinya menjadikan EBT lebih ramah lingkungan ketimbang energy konvensional.

 

Namun pertumbuhan energy baru dan terbarukan (EBT) dalam bauran energy nasional dinilai lamban karena belum dimasukkannya externality cost atau biaya kerusakan lingkungan ke energy fosil. Meskipun lamban, pemerintah tetap berupaya mengejar target 23 persen porsi EBT dalam bauran energy nasional pada 2025. Selain itu carbon pricing juga perlu untuk dibahas regulasinya yang nantinya akan membuat harga EBT lebih kompetitif. Karena dengan carbon pricing, energy fosil bisa berbenah menekan emisi karbonnya melalui upgrading batu bara, menjadi batu bara ke Gas juga DME (Dimethyl Eter) atau bisa juga batu bara cair, juga dengan zero flaring pada operasi migas (minyak dan gas bumi).

 

Pengembangan PLTS atap (rooftop) juga mesti didorong untuk mendukung capaian bauran energy nasional, khususnya di Pulau Jawa. Karena hal itu tidak memerlukan penyewaan lahan karena bisa dibangun di atas atap, dan tidak memerlukan investasi bernilai besar, maka dengan adanya pembaruan Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dengan memperhatikan lingkungan hidup dan penurunan emisi gas rumah kaca dapat mempercepat laju pengembangan EBT di Indonesia, dan juga perlu adanya upaya strategis dan sinergitas kementerian/ lembaga anggota DEN dari unsure pemerintah dan stakeholder. Sinergitas tersebut penting untuk mengakselerasi pencapaian target bauran nasional pada 2025.

 

Dengan adanya sinergitas dari pemerintah dan masyarakat serta institusi pendidikan terkait diharapkan Indonesia dapat menjadi pemimpin dalam pengembangan EBT mengingat sumber daya yang potensial sudah dimiliki Indonesia tinggal menunggu masa dan proses yang sedang dijalankan pemerintah untuk dapat mencapai hasil yang maksimal kedepannya.

 


Daftar Pustaka

 

Marsudi, Djiteng. 2005. Pembangkitan Energi Listrik. Jakarta: Erlangga.

Anonim. 2017. Kajian Penyediaan Dan Pemanfaatan Migas, Batubara , EBT , dan Listrik. Jakarta : Pusat Data dan Teknologi Informasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Anonim. 2020. Pengembangan EBT : Capaian dan Dampaknya Terhadap Ekonomi dan Lingkungan. Jakarta: Pusat Kajian Anggaran Sekretariat Jendral DPR RI

https://p4w.ipb.ac.id/studi-sinergitas-pengembangan-energi-baru-terbarukan-ebt-dan-pengelolaan-lanskap-konservasi-poigar-secara-berkelanjutan/

https://www.unpad.ac.id/2016/02/prof-purnomo-yusgiantoro-pengelolaan-energi-baru-terbarukan-belum-optimal/

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar