Pengembangan Energi Terbarukan Strategis di Indonesia
Disusun oleh Ahmad Tri Widianto (angkatan 2020)
&
Divisi Kajian
Pengembangan Energi Listrik Tenaga Air
Banyak daerah di Indonesia memiliki potensi energi yang berbeda-beda seperti aliran air maupun angin. Potensi energi-energi tersebut dapat dimanfaatkan untuk membantu masyarakat setempat untuk membangun swasembada energi. Salah satu energi strategis yang dapat dikembangkan adalah energi air. Energi air dihasilkan ketika aliran air direkayasa sedemikian rupa sehingga nantinya dapat menghasilkan energi kinetik. Selanjutnya, energi kinetik yang didapatkan digunakan untuk menggerakkan turbin, yang mana gerakan yang dihasilkan turbin akan menghasilkan energi yang akan mengisi tenaga pada dynamo sehingga energi pada dynamo dapat disalurkan kepada masyarakat luas.
Saat ini dengan bertambahnya penduduk dan kebutuhan yang linear terhadapnya, Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk membangun ketahanan energi nasional dalam rangka mendukung pembangunan yang bersifat berkelanjutan. Untuk itulah Kementerian ESDM sangat berperan penting dalam mendorong usaha percepatan pengembangan energi baru terbarukan, dalam hal ini energi air. Potensi tenaga air Indonesia cukup besar, mencapai 75 ribu Megawatt (MW) dengan pemanfaatannya melalui penyediaan energi listrik nasional yang baru mencapai 10% dari total potensinya.
Menurut data Kementerian ESDM, potensi sumber energi tenaga air di Indonesia tercatat sebanyak 15.600 Megawatt (20,8%) di Sumatera, 4.200 Megawatt (5,6%) di Jawa, Kalimantan, 21.600 Megawatt (28,8%), Sulawesi, 10.200 Megawatt (13,6%), Bali, NTT, NTB, 620 Megawatt (0,8%), Maluku, 430 Megawatt (0,6%) dan Papua, menyimpan potensi tenaga air sebesar 22.350 Megawatt atau 29,8% dari potensi nasional. Total keseluruhan potensi tenaga air yang dimiliki Indonesia sebesar 75.000 Megawatt dan yang telah dimanfaatkan saat ini hanya 10.1% atau sebesar 7,572 Megawatt dari total potensi yang ada.
Mempermudah regulasi terkait perizinan dalam pengembangan energi terbarukan yaitu energi air adalah salah satu upaya untuk memperluas upaya peralihan energi bersih. Selain itu, untuk mempercepat pemanfaatan air sebagai sumber energi Pemerintah mendorong kebijakan dan regulasi untuk mempercepat pencapaian tingkat pemanfaatan energi aliran dan terjunan air (HIDRO) dalam bauran energi primer nasional serta menerbitkan Peraturan Menteri ESDM yang mengatur harga energi listrik dari PLTA yang menjadi prioritas pemerintah untuk segera dapat tercapai. Agar dapat menyatukan fokus serta mempercepat akselerasi dalam pemanfaatan energi air secara lebih komersial.
Rencana Pengembangan PLTA tersebut sejalan dengan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi (MP3EI) yang menggunakan pendekatan breakthrough yang berbasis pada semangat not business as usual. Dalam pengembangan energi air nantinya, pihak swasta akan mendapatkan peran yang dominan dan strategis terutama dalam peningkatan investasi dan penciptaan lapangan kerja yang luas, sedangkan pihak pemerintah akan menerapkan fungsi sebagai regulator, fasilitator dan katalisator. Dalam hal regulasi, pemerintah akan melakukan deregulasi (debottlenecking) terhadap regulasi yang menghambat pelaksanaan investasi sehingga perampingan birokrasi dapat terwujud. Sehingga dengan penyederhanaan regulasi dan upaya peringkasan nya, hal yang dapat menghambat investasi pun dapat dihindari yang mana akan menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan proyek ini ke depannya.
B. Pengembangan Energi Listrik Tenaga Angin
Dikutip dari Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, target bauran energi baru dan terbarukan pada tahun 2025 paling sedikit 23% dan 31% pada tahun 2050. Target kapasitas PLT-Angin (Pembangkit Listrik Tenaga Angin) pada tahun 2025 yakni 255 Megawatt. Sementara hingga tahun 2020, tercatat PLT-Angin baru terpasang sekitar 135 Megawatt dengan rincian 75 Megawatt di daerah Sidrap dan sebesar 60 Megawatt di daerah Janeponto. Sehingga pengembangan energi angin di Indonesia harus menjadi salah satu fokus nasional ke depannya.
Ketersediaan peta potensi energi angin yang akurat di seluruh wilayah Indonesia sangat diperlukan dalam pemetaan dan seleksi lokasi proyek pembangkit listrik tenaga angin. Peta tersebut memberikan informasi mengenai karakteristik angin di berbagai wilayah seperti kecepatan angin rata-rata, kecepatan maksimum dan minimum yang dapat dikonversi menjadi peta rapat daya dan peta energi tahunan (dalam kWh/ atau W/m2 ) dan sebagainya. Informasi tersebut sangat berguna sebagai dasar penentuan lokasi dan perencanaan yang tepat guna dan ekonomis dalam pemilihan teknologi turbin nantinya.
Persiapan dalam mengumpulkan data potensi energi angin offshore memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Kesulitan dalam membangun struktur pondasi yang kuat, instalasi Suplai Daya (power supply) yang rumit, transfer data hingga pemeliharaan yang sulit jika terdapat kerusakan adalah contoh kendala dalam penyediaan data potensi angin offshore. Kesulitan tersebut menyebabkan pengukuran angin offshore membutuhkan biaya yang jauh lebih mahal dibandingkan di darat (onshore), sedangkan data pengukuran angin offshore yang beresolusi tinggi sangat berguna untuk mengestimasi potensi angin yang akurat dan tepat guna nantinya.
Salah satu bentuk upaya yang telah dilakukan untuk mempercepat pemanfaatan sumber daya angin oleh Badan Litbang ESDM melalui P3TKEBTKE adalah dengan mengembangkan metode perhitungan potensi energi angin dengan membuat peta potensi energi angin Indoesia resolusi 5 km di tahun 2016. Pada tahun 2020, peta tersebut diperbaharui dengan cara memperpanjang periode inputan model kemudian menghitung potensi energi angin onshore dan offshore Indonesia. Selanjutnya untuk menggambarkan potensi energi angin Indonesia, hasil pemodelan tersebut ditampilkan dalam bentuk peta distribusi kecepatan angin onshore dan offshore, peta distribusi kecepatan angin per musim, peta distribusi rapat daya angin (Wind Power Density/WPD), dan peta distribusi produksi energi tahunan (Annual Energy Production/AEP). Verifikasi model yang telah didapatkan akan dilakukan terhadap data pengukuran 111 stasiun Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan 11 lokasi pengukuran Pusat Penelitian Pengembangan Geologi dan Kelautan (P3GL-KESDM). Verifikasi dilakukan dengan cara menghitung bias dan root mean square error (RMSE) antara hasil model dan data pengukuran terlampir.
Berdasarkan hasil pemetaan distribusi kecepatan angin, didapat kecepatan angin yang tinggi (6 - 8 m/s) di onshore (daratan) terdapat di pesisir selatan pulau Jawa, Sulawesi Selatan, Maluku, dan NTT. Sementara kecepatan angin di daerah offshore (lepas pantai) menunjukkan angka lebih dari 8 m/s terjadi di Offshore Banten, offshore Sukabumi, offshore Kupang, offshore Pulau Wetar, dan offshore Kab Jeneponto, dan offshore Kab Kepulauan Tanimbar. Kecepatan angin maksimum terdapat pada periode Juni, Juli, Agustus (JJA) saat monsun Australia terjadi sedangkan minimum terdapat pada periode Maret, April, dan Maret (MAM) saat peralihan monsun Asia ke monsun Australia.
Wind Power Density (WPD) di lokasi Sukabumi, Pandeglang, Yogyakarta bagian selatan, Kupang, Sulawesi Selatan, Maluku, mencapai 400–500 watt/m2 termasuk dalam kelas yang baik (good). Offshore Banten, offshore Sukabumi, offshore Kupang, offshore Pulau Wetar, dan offshore Kab Jeneponto, dan offshore Kab Kepulauan Tanimbar memiliki kelas WPD yang memuaskan (excellent) mencapai 500 – 600 watt/m2. AEP untuk wilayah onshore Sukabumi, Pandeglang, Yogyakarta bagian selatan, Kupang, Alor, dan Maluku dengan turbin Bonus 1 MW menghasilkan 4 – 5 GWh/year. Area dengan AEP 5 - 6 GWh/year terdapat di wilayah offshore Pandeglang, offshore Kabupaten Sukabumi, offshore Kabupaten Jeneponto, offshore Kupang, offshore Pulau Wetar, dan offshore Kabupaten Kepulauan Tanimbar.
Selain itu, untuk mengetahui potensi energi angin secara detail, di tahun 2020 ini P3TKEBTKE juga melakukan Studi Kelayakan Pendahuluan (pre-Feasibility study) terhadap dua lokasi yang terdapat di dalamnya menara ukur angin, yaitu Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur dan Saumlaki, Maluku. Potensi energi angin onshore di Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur didapat kecepatan angin rerata di ketinggian 50 m, 30 m, dan 20 m berurutan adalah 5,82 m/s, 5,69 m/s, dan 5,23 m/s, arah angin dominan dari tenggara, kecepatan angin harian di ketinggian 50 m merata sepanjang hari dengan kecepatan angin maksimum dan cenderung seragam terjadi di siang-sore hari pukul 10.00-17.00 (7 jam) dengan kecepatan sekitar 6 m/s, sedangkan kecepatan angin di pukul 17.00 – 10.00 berkisar antara 5,4 m/s – 5,9 m/s. Sementara untuk potensi energi angin onshore di Saumlaki, Maluku didapat kecepatan angin rerata di ketinggian 50 m, 30 m, dan 20 m berurutan adalah 5,20 m/s, 4,37 m/s, dan 3,66 m/s, arah angin dominan dari tenggara, kecepatan angin harian di ketinggian 50 m merata sepanjang hari dengan kecepatan angin maksimum dan cenderung seragam terjadi di siang hari pukul 11.00-14.00 (3 jam) dengan kecepatan sekitar 6 m/s, sedangkan kecepatan angin di pukul 14.00 – 11.00 berkisar antara 4,6 m/s – 5,9 m/s.
C. Pengembangan Energi Listrik Tenaga Surya
Potensi energi surya di Indonesia terbilang sangat besar yakni sekitar 4.8 KWh/m2 atau setara dengan 112.000 GWp, namun yang sudah dimanfaatkan hanya sekitar 10 MWp. Saat ini pemerintah telah menerbitkan roadmap pemanfaatan energi surya yang menargetkan kapasitas PLTS terpasang hingga tahun 2025 adalah sebesar 0.87 GW atau sekitar 50 MWp/tahun. Jumlah ini merupakan interpretasi potensi pasar yang cukup besar dalam pengembangan energi surya di masa datang sehingga peluang ini harus dimanfaatkan.
Komponen utama sistem pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dengan penggunaan teknologi fotovoltaik adalah sel surya. Saat ini terdapat banyak teknologi yang dapat membuat sel surya. Sel surya konvensional yang saat ini beredar luas menggunakan teknologi wafer silikon kristalin yang proses produksinya cukup rumit dan mahal. Umumnya, pembuatan sel surya konvensional dimulai dengan proses pemurnian silika yang menghasilkan silika solar grade (ingot), dilanjutkan dengan pembuatan wafer silika melalui proses pemotongan silika. Selanjutnya wafer silika diproses hingga menjadi sel surya, kemudian sel-sel surya disusun membentuk modul surya yaitu kumpulan dari sel surya. Tahap terakhirnya adalah mengintegrasikan modul surya yang telah dibuat dengan BOS (Balance of System) agar dapat menjadi sistem PLTS. BOS adalah komponen pendukung yang digunakan dalam sistem PLTS seperti inverter, sistem control dan lainnya.
Saat ini pengembangan PLTS di Indonesia telah mempunyai pondasi yang cukup kuat dari aspek kebijakan. Namun belum optimal dalam tahap implementasinya. Dari sisi teknologi, industri photovoltaic (PV) di Indonesia baru mampu mencapai tahap hilir, yaitu memproduksi modul surya dan mengintegrasikannya menjadi PLTS, sementara sel suryanya masih harus mengimpor dari luar Indonesia. Padahal kenyataan nya sel surya adalah komponen utama dan yang paling mahal dalam sistem PLTS. Harga sel surya yang masih tinggi menjadi isu penting dalam perkembangan industri sel surya di Indonesia. Berbagai teknologi pembuatan sel surya terus diteliti dan dikembangkan dalam rangka upaya meningkatkan keekonomisan dari teknologi PLTS ini, agar penggunaan nya secara komersil menjadi lebih luas lagi cakupan dan targetnya terutama bauran konsumennya.
Dengan rasio elektrifikasi di Indonesia yang baru mencapai 55-60% dan hampir seluruh daerah yang belum dialiri listrik adalah daerah pedesaan yang jauh dari pusat pembangkit listrik, maka PLTS yang dapat menjadi alternatif yang ideal sehingga dapat dibangun hampir di semua lokasi yang sulit diakses. Dalam kurun waktu tahun 2005-2025, pemerintah telah merencanakan menyediakan 1 juta Solar Home System berkapasitas 50 Wp untuk masyarakat berpendapatan rendah serta 346,5 MWp PLTS hibrid untuk daerah terpencil. Hingga tahun 2025 pemerintah merencanakan akan ada sekitar 0,87 GW kapasitas PLTS terpasang di beberapa wilayah target yang telah terpetakan sebelumnya.
Dengan asumsi penguasaan pasar hingga 50%, pasar energi surya di Indonesia sudah cukup besar untuk menyerap keluaran dari suatu pabrik sel surya berkapasitas hingga 25 MWp per tahun. Hal ini tentu merupakan peluang besar bagi industri lokal untuk mengembangkan bisnisnya ke pabrikasi sel surya, sehingga ketahanan energi nasional dapat terus menguat ke depannya.
D. Kesimpulan
Pengembangan Pembangkit Listrik Energi Baru Terbarukan (EBT) telah banyak dikembangkan di daerah-daerah di Indonesia. Namun, pengelolaan nya masih belum optimal dikarenakan belum adanya integrasi antara semua pihak yang terkait yaitu masyarakat desa, tokoh masyarakat dan aparat desa, pemerintah kabupaten dan provinsi, serta pemerintah pusat Pengelolaan Energi Baru Terbarukan (Ebt) berbasis co-Manajemen merupakan alternatif solusi yang efisien, sustainable, dan merata. Keterlibatan semua pihak yang terkait memiliki proporsi yang berbeda sesuai kondisi masing-masing daerah dalam pengelolaan Energi Baru Terbarukan (EBT) nantinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar